Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan.
Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Selama di Bayat, meskipun sudah dikenal sebagai tokoh agama yang disegani, Ki Ageng Pandanaran terus mendalami ajaran agama islam dibawah bimbingan Sunan Kalijaga.
Sabtu, 09 Oktober 2010
Sunan Bayat
Al-Habib Syech yang asli kelahiran Hadramaut Yaman ini dulu pernah dipanggil oleh raja Sumenep yang bernama Tjakronegoro, karena tempat yang menjadi makam tersebut adalah dulunya kerajaan,
karena direbut oleh Belanda, maka Raja Sumenep tersebut meminta tolong dan sekaligus mengangkat Al-Habib Syech menjadi gurunya, kemudian Habib Syech berhasil merebut kerajaan tersebut sampai dengan Allah SWT memanggilnya, sehingga Habib Syech dimakamkan di kerajaan tersebut.
Makam Habib Syech bin Ahmad Bin Abdullah Bafagih ini berdua dengan adik beliau yang bernama Habib Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Bafagih.
Makamnya sering didatangi banyak peziarah dari penjuru dunia, setiap bulan Syawal pada hari Kamis kedua sering diadakan Haul Ba'da Asar.
Demikian kisah dari Makam Habib BOTOPUTIH Surabaya
Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad
Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke datuk wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.
Datuk beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.
Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :
As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)
As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)
Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :
Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)
Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)
Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)
Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)
Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)
Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)
Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)
Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)
Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)
Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus
Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)
Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.
Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :
As-Syaikh Said Babshail
As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid
Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.
Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)
Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)
Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)
Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.
Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq
Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid ‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba ‘Alawi al-Husaini adalah salah seorang ulama terkenal di Tanah Jawa.
Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Sumbergirang yang terletak dalam Kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada 11 Sya’baan 1311H / 17 Februari 1894M. Beliau memulakan pengajian agamanya dengan ayahanda beliau yang sememangnya terkenal sebagai seorang ulama. Pengajian agamanya diteruskannya ke beberapa buah pondok pesantren antaranya di Langitan Tuban, Kajen Pati (Kiyai Khozin), Semarang (Kiyai Umar) dan Syaikh Kholil Bangkalan. Beliau mempunyai hubungan yang amat rapat dengan Syaikh Kholil Bangkalan yang terkenal sebagai ulama terbilang lagi wali.
Dikisahkan, suatu malam pada akhir Ramadhan, Syaikh Kholil menyuruh segenap santrinya mencari Lailatul Qadar. Tidak seperti santri lainnya yang melakukan riyadhah sepanjang malam, Kiyai Ahmad Qusyairi justru sebaliknya. Setelah melakukan riyadhah ala kadarnya, beliau tertidur di teras masjid. Tak lama kemudian, menjelang Shubuh, Syaikh Kholil berkeliling mengitari pesantren. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya datang dari atas, lalu jatuh ke salah seorang santri yang sedang tidur. Karena suasana gelap gulita, ia hampiri santri itu lalu mengikat salah satu ujung sarung yang dikenakan, sebagai tanda.Selepas shalat Shubuh, Syaikh Kholil membuat pengumuman: “Siapa di antara kalian yang sarungnya ada bundelan (tali simpul) nya?”, setelah ditunggu agak lama, tak satu pun santri yang menjawab, termasuk Kiyai Ahmad Qusyairi yang tak menyadari dialah yang dimaksud. Setelah mengetahui salah satu ujung sarungnya tersimpul, dia justru ketakutan. Tetapi karena Syaikh Kholil bertanyakan lagi, dia pun mengaku dengan penuh ketakutan, kerana Syaikh Kholil memang terkenal dengan ketegasannya. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Syaikh Kholil tidak marah, malah tersenyum sambil berkata: “Mulai sekarang kalian (semua santri) tak payah lagi mengaji kepadaku. Cukup mengaji pada Ahmad Qusyairi.” Mendengar itu Kiyai Ahmad Qusyairi seakan tak percaya, dan sejak itu, para santri mengaji kepadanya. Di kemudian hari, beliau terkenal memiliki ilmu ladunni, di mana kemampuan ilmu didapatkan tanpa melalui proses belajar sebelumnya, tetapi kerana kemurahan Allah semata-mata.
Di antara kelebihan Kiyai Ahmad Qusyairi adalah kemampuannya menguasai berbagai bahasa selain bahasa ibundanya dan Bahasa Arab. Antara bahasa yang dikuasainya ialah Bahasa Belanda, Bahasa Inggeris, Bahasa Jepun dan Bahasa Cina. Beliau juga dikenali sebagai penyair yang mahir membuat dengan spontan syair-syair berbahasa Arab. Antara karangan yang ditinggalkannya ialah sebuah nazam sufi yang berjumlah 312 bait diberi jodol “Tanwir al-Hija” berhubung ‘aqidah dan ibadah. Karangannya ini diberi perhatian oleh para ulama, bahkan Habib Alawi bin ‘Abbas al-Maliki, ayahanda Buya Dr. Habib Muhammad al-Maliki, telah memberikannya syarah yang panjang diberi jodol ” Inarat ad-Duja“. Dan kerana besarnya kecintaannya kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan amalan bersholawat kepada baginda, maka selain mengamalkan “Dalailul Khairat“, beliau juga mempunyai himpunan sholawat yang dinamakannya “al-Wasiilatul Harriyyah fish Sholawaati ‘ala Khairil Bariyyah“.
Kiyai Ahmad Qusyairi gemar berkelana untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu. Beliau juga berjaya membangun beberapa buah masjid di tempat-tempat yang dikunjunginya. Setelah berkahwin dengan puteri Kiyai Yaasin, maka tugas mengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan diserahkan kepadanya. Beliau meninggalkan dunia yang fana ini pada 22 Syawal 1392H / 28 November 1972M, dengan meninggalkan seramai 15 orang anak antaranya Syaikhunal Mukarram Kiyai ‘Abdur Rahman bin Ahmad Qusyairi hafizahUllah. Jenazah beliau dimakamkan di kawasan pemakaman belakang Masjid Jami` al-Anwar, Pasuruan. Mudah-mudahan Allah sentiasa membasahikan makamnya dengan siraman hujan rahmat dan kasih sayang. Al-Fatihah.
Khadratus seykh Al~Mursyid Kh. Romly Tamim
Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.
Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.
Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.
Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.
KH Musta’in Romly
Hidup kira-kira 1920-1984. Setelah ayahnya wafat, Kiai Musta’in memangku Pesantren Darul Ulum Peterongan, Rejoso (Jombang) dan Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Jawa Timur. Kiai Romly bin Tamim, meninggal dunia pada 1958, dia menggantikan kedudukan ayahnya baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. Baik Kiai Romly maupun Kiai Musta’in sama-sama tidak punya jabatan formal di NU, kecuali pada tingkat lokal.
KH Musta’in Romly lahir di Rejoso pada tanggal 31 Agustus 1931. Sejak kecil ia mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Dan baru tahun tahun 1949 M melanjutkan studi di Semarang dan Solo di Akademi Dakwah Al Mubalighoh, diperguruan ini bakat kepemimpinannya menonjol sehingga pada waktu singkat mengajak sahabat-sahabatnya yang berasal dari daerah Jombang mendirikan Persatuan Mahasiswa Jombang. Studi di Lembaga ini diakhiri pada tahun 1954 M.
Pada tahun 1954 M beliau aktif di Nahdhatul Ulama Jombang tempat asalnya dan kemudian menjadi pengurus IPNU Pusat tahun 1954 sampai 1956. Upaya menerpa diri untuk lebih matang sebagai pimpinan Pondok Pesantren, KH Musta’in Romly banyak beranjang sana ke berbagai pondok pesantren dan lemnaga pendidikan pada umumnya. Mulai tingkat nasional sampai internasional. Dalam kaitan inilah pada tahun 1963 M beliau Muhibbah ke Negara-negara Eropa dan Timur Tengah, yang huga berziarah ke makam Syeh Abdul Qodir Al Jailani tokoh pemprakarsa Thoriqoh Qodiriyah, di Irak.
Hal ini penting mengingat beliau adalah Al Mursyid Thariqah Qodiriyah Wannaqsabandiyah mewarisi keguruan KH Romly Tamim dam KH Cholil Rejoso. Oleh-oleh dari kunjungan muhibbah ini antara lain yaitu mendorong berdirinya Universitas Darul Ulum pada tanggal 18 September 1965. Universitas Darul Ulum sendiri diprakasai Dr KH Musta’in Romly, KH Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH. Untuk melengkapi keabsahan KH Musta’in Romly sebagai Rektor, pada tahub 1977 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Macau University. Pada tahun 1981 lawatan ke Timur Tengah dilakukan kembali dengan hasil kerjasama antara Universitas Darul Ulum dan Iraq University dalam bentuk tukar-menukar tenaga edukatif, dan dengan Kuwait University dalam bentuk beasiswa studi ke Kuwait.
Pada tahun 1984 KH Musta’in berkunjung ke Casablanka, Maroko, tepatnya pada bulan Januari 1984, yaitu mengikuti Kunjungan Kenegaraan bersama Wakil Presiden RI Bapak Umar Wirahadi Kusuma dan Menteri Luar Negeri RI Bapak Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja dalam acara Konverensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kunjungan ini dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli dengan tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se- dunia di Bangkok.
Semua kunjungan dijalani KH Musta’in dengan tekun demi kelembagaan Pendidikan yang dialamatkan beliau, yaitu Lembaga Pondok Pesantren Darul Ulum, Lembaga Thariqah Qoddiriyyah Wannaqsabandiyah dan Universitas Darul Ulum. Sampai wafat pada tanggal 21 Januari 1985, beliau meninggalkan putra-putri M. Rokhmad (almarhun), H. Luqman Haqim dari Ibu Chafsoh Ma’som, Hj Choirun Nisa’ dari Ibu dzurriyatul Lum’ah, H. Abdul Mujib, Ahmada faidah, Chalimatussa’diyah dari Ibu Nyi Hj Djumiyatin Musta’in serta Siti sarah dan Dewi Sanawai dari Ibu Ny. Hj. Latifa.
Adapun jabatan yang pernah diamanahkan kepada Dr. KH Musta’in Romly adalah:
1. Aggota DPR - MPR RI tahun 1983 sampai wafat.
2. Wakil ketua DPP MDI tahun 1984 sampai wafat.
3. Rektor Universitas Darul Ulum tahun 1965 sampai wafat.
4. Al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wannaqwsabandiyah tahun 1958.
5. Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun
1958 sampaiwafat.
6. Anggota BKS Perguruan Tinggi Swasta tahun 1983 sampai wafat.
7. Anggota IAUP ( International Association of University President ) 1981 di
Chicago.
8. Ketua Umum Jam’iyah Thoriqot Mu’tabaroh Indonesia pada tahun 1975 sampai wafat.
habib-abu-bakar-bin-husein-assegaf bangil, Mutiara yang bersinar dari bani alawi
Beliau mempunyai garis keturunan suci yang terus bersambung dan bermuara pada penghulu manusia generasi dahulu dan sekarang hingga akhir nanti, al-Habibul A'dhom Rasulullah s.a.w.. Beliau ialah putera dari pasangan Habib Husein bin Abdullah Assegaf dan Syarifah Syifa binti Abdul Qodir al-Bahr yang dilahirkan di kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1309H.
Salah satu mahaguru beliau adalah Habib al-Qutb Abu Bakar bin Muhammad bin Umar Assegaf Gresik. Banyak dari kitab-kitab salaf yang beliau pelajari dari Habib Abu Bakar Assegaf terutama kitab karangan Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. Tidak hanya sekedar belajar, Habib Abu Bakar Assegaf Gresik juga mengijazahkan dan memberi titah kepada beliau Habib Abu Bakar bin Husein untuk membaca sekaligus mengajarkannya setiap hari di kediamannya sendiri. Tercatat di kediamannya sendiri, beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya sebanyak 40 kali. Tiap t a hunnya beliau membuat jamuan yang istimewa dalam rangka acara khataman kitab Ihya tersebut. Beliau r.a adalah figur yang berakhlak mulia. Terbukti bahwa beliau adalah sosok yang luwes dalam bergaul. Beliau menatap setiap orang dengan tatapan yang berseri-seri, baik itu kecil atau besar, tua atau muda beliau tatap dengan muka manis penuh penghormatan. Beliau r.a juga senang berkumpul dan mencintai para fakir miskin dengan membantu memenuhi keperluan mereka, khususnya kaum janda dan anak-anak yatim. Meski p un demikian beliau belum pernah merasa kurang hartanya karena beliau bagi-bagikan, sebaliknya beliau mendapat balasan harta dan jasa dari orang-orang kaya pecinta kebajikan. Sungguh beliau r.a mencurahkan segenap umurnya untuk membantu kaum fakir miskin, orang-orang yang kesusahan, menjamu para tamu, mendamaikan 2 belah pihak yang saling berseteru dan mencarikan jodoh para gadis muslimat. Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf selalu dan senantiasa memberikan motivasi untuk menapaki jejak para aslafunas sholihin, meniru dan berhias diri dengan akhlakul karimah. Bahkan beliau senantiasa mengingatkan akan mutiara kalam Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (shohibur ratib):
"Berpegang tegunglah pada Al-Qur an da n ikutilah sunnah Rasul, dan ikutilah jejak para aslaf niscaya Allah akan memberimu hidayah."
Selain itu beliau juga mengingatkan akan pesan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul maulid) di kala berpesan pada putra-putranya:
"Diantara yang bisa membuat hatiku senang adalah dengan berpegang teguhnya kalian dengan thoriqoh para datuk, keluarga dan leluhurku."
Legitimasi beliau di mata kaum sholihin pada zamannya tidak perlu diragukan lagi. Alhabib Al- Arifbillah Habib Husein bin Muhammad al-Haddad Tegal berkata.
"Kepada seorang habib yang bersinar, yang telah masuk padanya huruf jar hingga ia menjadi _majrur (tertarik ke hadirat Allah) dan mabrur (baik) dan akan menjadi terpuji penghujungnya pada hari kebangkitan dan pengumpulan. Seorang yang indah dan ayah nya-Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Semoga Allah menjaganya sebagaimana memelihara kitab sucinya yang mulia.
Dalam surat beliau yang lain, beliau berkata:
"Segala puji bagi Allah zat yang maha berkehendak. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapat kebaikan pasti Ia akan menggunakannya pada jalan kebaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah keharibaan pemimpin dan kekasih kita Muhammad SAW yang telah mengajak kita pada segala kebajikan, beserta para sahabat dan kerabatnya serta kepada seorang anak yang telah diberkahi dan mendapat pertolongan Alhabib Abu Bakar bin Husein Assegaf, yang telah dijadikan oleh Allah sebagai tempat penampakan segala kebajikan, dan semoga dilimpahkan bagi beliau salam yang melimpah."
Salamun Qoulan Min Rabbir Rahiim
Pada akhir hayatnya beliau sekitar lima belas menit sebelumnya, beliau meminta putranya Habib Husein bin Abu Bakar Assegaf untuk membacakan bait qosidah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad:
"Tiada satupun makhluk di muka bumi ini, melainkan ia membutuhkan keutamaan dari Tuhannya yang Maha Satu dan Esa."
Sampai akhir qasidah ini beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menghadap Sang Kholik yang Maha Suci.
Beliau wafat pada hari Senin 27 Muharram 1384H waktu subuh dan dikebumikan di Bangil pada hari Selasa waktu dhuha. Sepeninggal beliau ditemukan beberapa bait syair di bawah bantalnya yang ertinya,
"Aku telah menjadi tamu Allah di alam baka dan bagi dzat yang mulia pasti akan memuliakan tamunya. Para penguasa dapat memberi maaf bagi orang yang mengunjungi istananya, lalu bagaimanakah dengan orang yang berkunjung ke hadirat Tuhannya yang Maha Rahman."
Selamat jalan wahai kekasih Allah, sejarah telah mengabadikan namamu dengan tinta emas. Semoga kita dapat meneladani akhlak dan kebaikannya. Amin.
Diposkan oleh . di 18.51 0 komentar
Label: habib-abu-bakar-bin-husein-assegaf bangil, Mutiara yang bersinar dari bani alawi