Sabtu, 09 Oktober 2010

Sunan Bayat

Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan.

Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Selama di Bayat, meskipun sudah dikenal sebagai tokoh agama yang disegani, Ki Ageng Pandanaran terus mendalami ajaran agama islam dibawah bimbingan Sunan Kalijaga.

Read More......



Al-Habib Syech yang asli kelahiran Hadramaut Yaman ini dulu pernah dipanggil oleh raja Sumenep yang bernama Tjakronegoro, karena tempat yang menjadi makam tersebut adalah dulunya kerajaan,
karena direbut oleh Belanda, maka Raja Sumenep tersebut meminta tolong dan sekaligus mengangkat Al-Habib Syech menjadi gurunya, kemudian Habib Syech berhasil merebut kerajaan tersebut sampai dengan Allah SWT memanggilnya, sehingga Habib Syech dimakamkan di kerajaan tersebut.

Makam Habib Syech bin Ahmad Bin Abdullah Bafagih ini berdua dengan adik beliau yang bernama Habib Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Bafagih.
Makamnya sering didatangi banyak peziarah dari penjuru dunia, setiap bulan Syawal pada hari Kamis kedua sering diadakan Haul Ba'da Asar.

Demikian kisah dari Makam Habib BOTOPUTIH Surabaya

Read More......

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad



Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke datuk wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.

Datuk beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.

Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :

As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)

As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)

Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :

Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)

Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)

Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)

Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)

Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)

Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)

Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)

Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus

Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)

Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.

Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :

As-Syaikh Said Babshail

As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid

Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)

Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.

Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)

Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)

Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)

Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.

Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…

Read More......

Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq



Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid ‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba ‘Alawi al-Husaini adalah salah seorang ulama terkenal di Tanah Jawa.

Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Sumbergirang yang terletak dalam Kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada 11 Sya’baan 1311H / 17 Februari 1894M. Beliau memulakan pengajian agamanya dengan ayahanda beliau yang sememangnya terkenal sebagai seorang ulama. Pengajian agamanya diteruskannya ke beberapa buah pondok pesantren antaranya di Langitan Tuban, Kajen Pati (Kiyai Khozin), Semarang (Kiyai Umar) dan Syaikh Kholil Bangkalan. Beliau mempunyai hubungan yang amat rapat dengan Syaikh Kholil Bangkalan yang terkenal sebagai ulama terbilang lagi wali.
Dikisahkan, suatu malam pada akhir Ramadhan, Syaikh Kholil menyuruh segenap santrinya mencari Lailatul Qadar. Tidak seperti santri lainnya yang melakukan riyadhah sepanjang malam, Kiyai Ahmad Qusyairi justru sebaliknya. Setelah melakukan riyadhah ala kadarnya, beliau tertidur di teras masjid. Tak lama kemudian, menjelang Shubuh, Syaikh Kholil berkeliling mengitari pesantren. Tiba-tiba beliau melihat seberkas cahaya datang dari atas, lalu jatuh ke salah seorang santri yang sedang tidur. Karena suasana gelap gulita, ia hampiri santri itu lalu mengikat salah satu ujung sarung yang dikenakan, sebagai tanda.Selepas shalat Shubuh, Syaikh Kholil membuat pengumuman: “Siapa di antara kalian yang sarungnya ada bundelan (tali simpul) nya?”, setelah ditunggu agak lama, tak satu pun santri yang menjawab, termasuk Kiyai Ahmad Qusyairi yang tak menyadari dialah yang dimaksud. Setelah mengetahui salah satu ujung sarungnya tersimpul, dia justru ketakutan. Tetapi karena Syaikh Kholil bertanyakan lagi, dia pun mengaku dengan penuh ketakutan, kerana Syaikh Kholil memang terkenal dengan ketegasannya. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Syaikh Kholil tidak marah, malah tersenyum sambil berkata: “Mulai sekarang kalian (semua santri) tak payah lagi mengaji kepadaku. Cukup mengaji pada Ahmad Qusyairi.” Mendengar itu Kiyai Ahmad Qusyairi seakan tak percaya, dan sejak itu, para santri mengaji kepadanya. Di kemudian hari, beliau terkenal memiliki ilmu ladunni, di mana kemampuan ilmu didapatkan tanpa melalui proses belajar sebelumnya, tetapi kerana kemurahan Allah semata-mata.
Di antara kelebihan Kiyai Ahmad Qusyairi adalah kemampuannya menguasai berbagai bahasa selain bahasa ibundanya dan Bahasa Arab. Antara bahasa yang dikuasainya ialah Bahasa Belanda, Bahasa Inggeris, Bahasa Jepun dan Bahasa Cina. Beliau juga dikenali sebagai penyair yang mahir membuat dengan spontan syair-syair berbahasa Arab. Antara karangan yang ditinggalkannya ialah sebuah nazam sufi yang berjumlah 312 bait diberi jodol “Tanwir al-Hija” berhubung ‘aqidah dan ibadah. Karangannya ini diberi perhatian oleh para ulama, bahkan Habib Alawi bin ‘Abbas al-Maliki, ayahanda Buya Dr. Habib Muhammad al-Maliki, telah memberikannya syarah yang panjang diberi jodol ” Inarat ad-Duja“. Dan kerana besarnya kecintaannya kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan amalan bersholawat kepada baginda, maka selain mengamalkan “Dalailul Khairat“, beliau juga mempunyai himpunan sholawat yang dinamakannya “al-Wasiilatul Harriyyah fish Sholawaati ‘ala Khairil Bariyyah“.

Kiyai Ahmad Qusyairi gemar berkelana untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu. Beliau juga berjaya membangun beberapa buah masjid di tempat-tempat yang dikunjunginya. Setelah berkahwin dengan puteri Kiyai Yaasin, maka tugas mengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan diserahkan kepadanya. Beliau meninggalkan dunia yang fana ini pada 22 Syawal 1392H / 28 November 1972M, dengan meninggalkan seramai 15 orang anak antaranya Syaikhunal Mukarram Kiyai ‘Abdur Rahman bin Ahmad Qusyairi hafizahUllah. Jenazah beliau dimakamkan di kawasan pemakaman belakang Masjid Jami` al-Anwar, Pasuruan. Mudah-mudahan Allah sentiasa membasahikan makamnya dengan siraman hujan rahmat dan kasih sayang. Al-Fatihah.

Read More......

Khadratus seykh Al~Mursyid Kh. Romly Tamim



Kh.Romly Tamim kelahiran Rejoso tahun 1888 M. Beliau adalah putra Kyai Haji Tamim yang ketiga. Pengalaman pendidikan diperoleh dari ayah dan kakak iparnya dalam usia muda, sedang masa menjelang dewasanya dididik di Pondok Pesantren Bangkalan Madura seperti ayah kakak yaitu dibawah asuhan Kyai Kholil.

Dari pendidikan ini kemudian diteruskan ke pendidikan tebu ireng yang diasuh oleh Kyai Hasyim asy’ari. Waktu Kyai Romly Tamim sudah ikut membantu sebagai tenaga pengajar, Kyai Hasyim Asy’ari mulai menaruh simpati dan sayangnya kepada tenaga baru tersebut. Dari sisnilah simpati itu berlanjut sehingga pada tahun 1923 Kyai Romly Tamim diambil menantu oleh Kyai Hasyim Asy’ari mmendapatkan Nyi Azzah Dalam perkawinan ini tidak membuahkan satu anakpun.

Seusai pengabdiannya di Tebu Ireng dan setelah merasa gagal pada perkawinan pertama beliau nikah lagi dengan putri desa besuk Jombang yang bernama Nyi Maisyaroh. Perkawinan ini menghasilkan putra Ishomuddin yang telah kembali ke Rahmatullah dan Musta’in Romly. Sepeninggal Nyi Maisaroh belaiau nikah dengan Nyi Khodijah hingga berputra : A. Rifa’I, Sonhaji, A. Dimyati, Moh Damam Hury dan Tamim.

Diakhir hayatnya beliau sebagai Al – mursyid Thoriqot Qodiriyah Wannaqsabandiyah menggantikan kedudukan KH Cholil selama perjalanan hidup ia sempat menulisdan menyususn buku – buku pegangan Thoriqot antara lain Risalatul Waqiah, Risalah Solawat Nariyah dan Tsamratul Fikriyah. Allah SWT memanggil kembali ke alam sana pada 16 Romadhon 1377 atau 16 April 1958.

Read More......

KH Musta’in Romly



Hidup kira-kira 1920-1984. Setelah ayahnya wafat, Kiai Musta’in memangku Pesantren Darul Ulum Peterongan, Rejoso (Jombang) dan Syaikh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Jawa Timur. Kiai Romly bin Tamim, meninggal dunia pada 1958, dia menggantikan kedudukan ayahnya baik sebagai kiai maupun syaikh tarekat. Baik Kiai Romly maupun Kiai Musta’in sama-sama tidak punya jabatan formal di NU, kecuali pada tingkat lokal.

KH Musta’in Romly lahir di Rejoso pada tanggal 31 Agustus 1931. Sejak kecil ia mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Dan baru tahun tahun 1949 M melanjutkan studi di Semarang dan Solo di Akademi Dakwah Al Mubalighoh, diperguruan ini bakat kepemimpinannya menonjol sehingga pada waktu singkat mengajak sahabat-sahabatnya yang berasal dari daerah Jombang mendirikan Persatuan Mahasiswa Jombang. Studi di Lembaga ini diakhiri pada tahun 1954 M.

Pada tahun 1954 M beliau aktif di Nahdhatul Ulama Jombang tempat asalnya dan kemudian menjadi pengurus IPNU Pusat tahun 1954 sampai 1956. Upaya menerpa diri untuk lebih matang sebagai pimpinan Pondok Pesantren, KH Musta’in Romly banyak beranjang sana ke berbagai pondok pesantren dan lemnaga pendidikan pada umumnya. Mulai tingkat nasional sampai internasional. Dalam kaitan inilah pada tahun 1963 M beliau Muhibbah ke Negara-negara Eropa dan Timur Tengah, yang huga berziarah ke makam Syeh Abdul Qodir Al Jailani tokoh pemprakarsa Thoriqoh Qodiriyah, di Irak.

Hal ini penting mengingat beliau adalah Al Mursyid Thariqah Qodiriyah Wannaqsabandiyah mewarisi keguruan KH Romly Tamim dam KH Cholil Rejoso. Oleh-oleh dari kunjungan muhibbah ini antara lain yaitu mendorong berdirinya Universitas Darul Ulum pada tanggal 18 September 1965. Universitas Darul Ulum sendiri diprakasai Dr KH Musta’in Romly, KH Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH. Untuk melengkapi keabsahan KH Musta’in Romly sebagai Rektor, pada tahub 1977 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Macau University. Pada tahun 1981 lawatan ke Timur Tengah dilakukan kembali dengan hasil kerjasama antara Universitas Darul Ulum dan Iraq University dalam bentuk tukar-menukar tenaga edukatif, dan dengan Kuwait University dalam bentuk beasiswa studi ke Kuwait.

Pada tahun 1984 KH Musta’in berkunjung ke Casablanka, Maroko, tepatnya pada bulan Januari 1984, yaitu mengikuti Kunjungan Kenegaraan bersama Wakil Presiden RI Bapak Umar Wirahadi Kusuma dan Menteri Luar Negeri RI Bapak Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja dalam acara Konverensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kunjungan ini dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli dengan tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se- dunia di Bangkok.

Semua kunjungan dijalani KH Musta’in dengan tekun demi kelembagaan Pendidikan yang dialamatkan beliau, yaitu Lembaga Pondok Pesantren Darul Ulum, Lembaga Thariqah Qoddiriyyah Wannaqsabandiyah dan Universitas Darul Ulum. Sampai wafat pada tanggal 21 Januari 1985, beliau meninggalkan putra-putri M. Rokhmad (almarhun), H. Luqman Haqim dari Ibu Chafsoh Ma’som, Hj Choirun Nisa’ dari Ibu dzurriyatul Lum’ah, H. Abdul Mujib, Ahmada faidah, Chalimatussa’diyah dari Ibu Nyi Hj Djumiyatin Musta’in serta Siti sarah dan Dewi Sanawai dari Ibu Ny. Hj. Latifa.

Adapun jabatan yang pernah diamanahkan kepada Dr. KH Musta’in Romly adalah:

1. Aggota DPR - MPR RI tahun 1983 sampai wafat.
2. Wakil ketua DPP MDI tahun 1984 sampai wafat.
3. Rektor Universitas Darul Ulum tahun 1965 sampai wafat.
4. Al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wannaqwsabandiyah tahun 1958.
5. Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun
1958 sampaiwafat.
6. Anggota BKS Perguruan Tinggi Swasta tahun 1983 sampai wafat.
7. Anggota IAUP ( International Association of University President ) 1981 di
Chicago.
8. Ketua Umum Jam’iyah Thoriqot Mu’tabaroh Indonesia pada tahun 1975 sampai wafat.

Read More......

habib-abu-bakar-bin-husein-assegaf bangil, Mutiara yang bersinar dari bani alawi

Beliau mempunyai garis keturunan suci yang terus bersambung dan bermuara pada penghulu manusia generasi dahulu dan sekarang hingga akhir nanti, al-Habibul A'dhom Rasulullah s.a.w.. Beliau ialah putera dari pasangan Habib Husein bin Abdullah Assegaf dan Syarifah Syifa binti Abdul Qodir al-Bahr yang dilahirkan di kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1309H.

Salah satu mahaguru beliau adalah Habib al-Qutb Abu Bakar bin Muhammad bin Umar Assegaf Gresik. Banyak dari kitab-kitab salaf yang beliau pelajari dari Habib Abu Bakar Assegaf terutama kitab karangan Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. Tidak hanya sekedar belajar, Habib Abu Bakar Assegaf Gresik juga mengijazahkan dan memberi titah kepada beliau Habib Abu Bakar bin Husein untuk membaca sekaligus mengajarkannya setiap hari di kediamannya sendiri. Tercatat di kediamannya sendiri, beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya sebanyak 40 kali. Tiap t a hunnya beliau membuat jamuan yang istimewa dalam rangka acara khataman kitab Ihya tersebut. Beliau r.a adalah figur yang berakhlak mulia. Terbukti bahwa beliau adalah sosok yang luwes dalam bergaul. Beliau menatap setiap orang dengan tatapan yang berseri-seri, baik itu kecil atau besar, tua atau muda beliau tatap dengan muka manis penuh penghormatan. Beliau r.a juga senang berkumpul dan mencintai para fakir miskin dengan membantu memenuhi keperluan mereka, khususnya kaum janda dan anak-anak yatim. Meski p un demikian beliau belum pernah merasa kurang hartanya karena beliau bagi-bagikan, sebaliknya beliau mendapat balasan harta dan jasa dari orang-orang kaya pecinta kebajikan. Sungguh beliau r.a mencurahkan segenap umurnya untuk membantu kaum fakir miskin, orang-orang yang kesusahan, menjamu para tamu, mendamaikan 2 belah pihak yang saling berseteru dan mencarikan jodoh para gadis muslimat. Habib Abu Bakar bin Husein Assegaf selalu dan senantiasa memberikan motivasi untuk menapaki jejak para aslafunas sholihin, meniru dan berhias diri dengan akhlakul karimah. Bahkan beliau senantiasa mengingatkan akan mutiara kalam Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (shohibur ratib):

"Berpegang tegunglah pada Al-Qur an da n ikutilah sunnah Rasul, dan ikutilah jejak para aslaf niscaya Allah akan memberimu hidayah."

Selain itu beliau juga mengingatkan akan pesan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibul maulid) di kala berpesan pada putra-putranya:

"Diantara yang bisa membuat hatiku senang adalah dengan berpegang teguhnya kalian dengan thoriqoh para datuk, keluarga dan leluhurku."

Legitimasi beliau di mata kaum sholihin pada zamannya tidak perlu diragukan lagi. Alhabib Al- Arifbillah Habib Husein bin Muhammad al-Haddad Tegal berkata.

"Kepada seorang habib yang bersinar, yang telah masuk padanya huruf jar hingga ia menjadi _majrur (tertarik ke hadirat Allah) dan mabrur (baik) dan akan menjadi terpuji penghujungnya pada hari kebangkitan dan pengumpulan. Seorang yang indah dan ayah nya-Abu Bakar bin Hasan Assegaf. Semoga Allah menjaganya sebagaimana memelihara kitab sucinya yang mulia.

Dalam surat beliau yang lain, beliau berkata:

"Segala puji bagi Allah zat yang maha berkehendak. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapat kebaikan pasti Ia akan menggunakannya pada jalan kebaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah keharibaan pemimpin dan kekasih kita Muhammad SAW yang telah mengajak kita pada segala kebajikan, beserta para sahabat dan kerabatnya serta kepada seorang anak yang telah diberkahi dan mendapat pertolongan Alhabib Abu Bakar bin Husein Assegaf, yang telah dijadikan oleh Allah sebagai tempat penampakan segala kebajikan, dan semoga dilimpahkan bagi beliau salam yang melimpah."
Salamun Qoulan Min Rabbir Rahiim

Pada akhir hayatnya beliau sekitar lima belas menit sebelumnya, beliau meminta putranya Habib Husein bin Abu Bakar Assegaf untuk membacakan bait qosidah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad:

"Tiada satupun makhluk di muka bumi ini, melainkan ia membutuhkan keutamaan dari Tuhannya yang Maha Satu dan Esa."

Sampai akhir qasidah ini beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir untuk menghadap Sang Kholik yang Maha Suci.

Beliau wafat pada hari Senin 27 Muharram 1384H waktu subuh dan dikebumikan di Bangil pada hari Selasa waktu dhuha. Sepeninggal beliau ditemukan beberapa bait syair di bawah bantalnya yang ertinya,

"Aku telah menjadi tamu Allah di alam baka dan bagi dzat yang mulia pasti akan memuliakan tamunya. Para penguasa dapat memberi maaf bagi orang yang mengunjungi istananya, lalu bagaimanakah dengan orang yang berkunjung ke hadirat Tuhannya yang Maha Rahman."

Selamat jalan wahai kekasih Allah, sejarah telah mengabadikan namamu dengan tinta emas. Semoga kita dapat meneladani akhlak dan kebaikannya. Amin.
Diposkan oleh . di 18.51 0 komentar
Label: habib-abu-bakar-bin-husein-assegaf bangil, Mutiara yang bersinar dari bani alawi

Read More......

“Sentono Boto Putih”Kiyahi Ageng Brondong

Pangeran Lanang Dangiran Kiyahi Ageng Brondong.
Kang Sumareh Ing Pesarehan “Sentono Boto Putih” Surabaya

Kiyahi Ageng Brondong memiliki keturunan Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I, Bupati Sidoarjo yang pertama, diambil dari silsilah pangeran Lanang Dangiran Kyai Ageng Brondong kang sumareh ing pesarehan sentono Botoputih Surabaya.

Riwayat Hidup Kiyahi Ageng Brondong Botoputih Suroboyo

Konon dituturkan Pangeran Kedawung, disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. Diceritakan bahwa Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa dilauy dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, dipantai dekat Sedayu.

Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa “Brondong” Badan Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang kiyahi yang bernama Kiyahi Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kiyahi Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sehingga sadar kembali dan akhirnya menjadi sehat seperti sediakala.

Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kiyahi Kendil Wesi. Setelah Kiyahi Kendil Wesi mendapat keterangan tentang asal usulnya Pangeran Lanang Dangiran, maka diceritakan oleh Kiyahi tadi bahwa ia juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran.

Lanang Dangiran tinggal dan kumpul dengan Kiyahi Kendil Wesi, dan dianggap sebagai anaknya kiyahi sendiri. Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula ia dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam, Pangeran Lanang Dangiran berisitrikan putrid dan Ki Bimotjili dan Panembahan di Cirebon yang asal usulnya dituliskan sebagai berikut :
Pangeran Kebumen Bupati Semarang, berisitrikan putrid dan Sultan Bojong, bernama Prabu Widjaja (Djoko Tingkir). Ki Bomotjili adalah salah satu seorang putra dan Pangeran Kebumen tersebut diatas, seorang putri dan Ki Bimotjilimi bersuamikan Pangeran Lanang Dangiran alias Kiyahi Brondong (dimakamkan di Boto Putih).

Nama Brondong diperoleh karena ia diketemukan oleh Kiyahi Kendil Wesi badannya dilekati dengan “Brondong” Kiyahi Kendil Wesi yang waspada dan mengetahui nasib seseorang, mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kiyahi Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kiyahi Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kiyahi Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta turun temurunnya kelak akan timbul dan tambah menjadi orang-orang yang mulya.

Kemudian Kiyahi Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih) ditempat baru inilah Kiyahi Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kiyahi Brondong (pangeran Lanang Dangiran) wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak, diantaranya 2 orang laki-laki yaitu : Honggodjoyo dan Honggowongso.

Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dan Honggodjoyo, Kiyahi Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya sendiri di Botoputih Surabaya makamnya dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini. Semoga arwah beliau diterima Allah Swt, dan Allah Swt juga memberikan kepada seluruh keturunannya Kiyahi Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana beliau senantiasa mendoakan cucu cicitnya selama hidupnya.

Ada hal penting yang anda ketahui bahwa bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sidoarjo, pejabat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo beserta rombongan merupakan agenda rutin berkunjung ke :
Pesarean Asri ing Pendem untuk nyekar ke makam Bupati pertama Sidoarjo Raden Tumenggung Panji Tjokronegoro I wafat tahun 1863
Ke Pesarehan keluarga Tjondronegoro (belakang masjid Djamik/ Agung Sidoarjo) nyekar Raden Adipati Aryo Panji Tjondronegoro I wafat tahun 1906
Langsung menuju Pesarehan Boto Putih Surabaya ke makam Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono).

Kerajaan Airlangga dan Cikal Bakal Majapahit

Cerita tentang kejayaan kerajaan Airlangga dan cikal bakal asal, asal usul berdirinya kerajaan Mojopahit terkait geografi Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo dikenal nama Kota Delta merupakan daerah yang dikurung sungai besar yakni sungai Porong dan Brantas ditambah sejumlah anak sungai kecil dan sedang mengalir di sejumlah daerah wilayah kabupaten Sidoarjo. Dengan kondisi demikian Sidoarjo termasuk kawasan pertanian yang subur termasuk penghasil polowijo dan memiliki banyak dermaga sungai dan laut pada waktu itu. Menurut cerita sejarah, Sidoarjo termasuk wilayah pemetaan kekuasaan kerajaan Airlangga yang memerintah di Jawa Timur tahun 1028-1042 dan sebagai wilayah cikal bakal berdirinya kerajaan Mojopahit pada pemerintahan R. Widjaja tahun 1293-1309.

Sejarah kejayaan Airlangga mengisahkan, sejak berkuasa di Jawa Timur sejak 1028 menunjukkan sebagai sosok seorang raja yang arif bijaksana, berhasil memajukan bidang pertanian/ perkebunan dan perniagaan/ perdagangan serta menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan diluar pulau Jawa. Sebagai raja yang disegani dan dihormati mampu menciptakan ketentraman, ketertiban artinya tidak ada perang atau kekacauan dikawasan kekuasaannya, hal ini sesuai nama Pusat Kerajaan yakni Kahuripan yang artinya “sumber hidup bahagia”.

Raja Airlangga dilingkungan rakyatnya sangat memperhatikan kerukunan umat beragama, pendeta, petapa dan brahma untuk dilindungi dan disatukan dengan kegiatan kraton. Kegiatan ritual keagamaan dilingkungan dan diluar kraton prabu Airlangga menyempatkan diri untuk menghadirinya, sehingga banyak menanamkan simpatik atas kewibawaan sang prabu sebagai panutan masyarakat sekitarnya.

Ketika ditengah kesibukan menjalankan pemerintahan, sang raja Airlangga dihadapkan permasalahan keluarga kraton karena putrid mahkota kerajaan Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji tidak bersedia mewarisi tahta kerajaan. Bahkan kabarnya Dewi Kilisutji meninggalkan istana untuk bertapa di Paguwat lereng gunung Penanggungan. Tinggal dua putra kerajaan yang terpaksa harus menggantikan kedudukan sebagai raja. Raja Airlangga tidak bias menyerahkan begitu saja kepada salah satu putra mahkota, karena dikhawatirkan akan timbul perpecahan antar saudara yang nantinya saling berebut kekuasaan.

Untuk mencari jalan keluar yang adil dan bijaksana, raja Airlangga atas nasehat para pendeta kerajaan untuk menyerahkan permasalahan tersebut sepenuhnya kepada Empu Bharada yakni seorang Brahmana yang dipandang ahli dan jujur. Jalan yang ditempuh adalah memberi kekuasaan kerajaan di dua wilayah, yakni kerajaan Daha (Kediri) dan kerajaan Djenggala (Sidoarjo) pada tahun 1042. Setelah membagi dua wilayah kerajaan dan menyerahkan kekuasaan kepada kedua putra mahkota, baginda raja Airlangga turun tahta untuk menjadi petapa dan tidak lagi mengurus jalannya pemerintahan kerajaan. Pada tahun 1049 baginda Airlangga wafat, jasadnya dibakar (diperabukan) yang abunya disimpan di sebuah candi didekat desa Belahan sekitar lereng Gunung Penanggugan.

Dalam perjalanan sejarah permerintahan kerajaan kedua putra mahkota bukanlah tercipta kerukunan kedua belah pihak seperti harapan baginda raja Airlangga, tetapi justru saling mempermasalahkan wilayah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yang semata untuk memenuhi kebutuhan kemakmuran rakyatnya masing-masing. Kerajaan Daha (Kediri) menguasai dan memiliki area tanah pertanian dan perkebunan yang luas, tanahnya yang subur penghasil penghasil polowijo terbesar yang sangat dibutuhkan pasar rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi karena geografi wilayah tidak mempunyai Bandar pelabuhan niaga untuk menyalurkan dan memasarkan hasil bumi ke daerah lain antar pulau, yang terjadi menumpukan hasil bumi dipasar local berlebihan. Sedang kerajaan Djenggolo (Sidoarjo) sebagai daerah Delta yang dikurung sungai besar dan beberapa wilayah dialiri banyak anak sungai mengalir ke timur laut, banyak dermaga atau pelabuhan niaga besar dan kecil sebagai terminal transit mengangkut hasil bumi antar daerah bahkan sampai keluar pulau Jawa. Tetapi karena tata geografis, Djenggolo tidak banyak memiliki lahan pertanian atau perkebunan untuk diperdagangkan sampai keluar pulau Jawa.

Kondisi kedua wilayah yang berbeda tak berimbang inilah menjadi pemicu “perang saudara” tahta pewaris kerajaan Airlangga. Kedua belah pihak saling memperebutkan dan berusaha menguasai wilayah. Untuk meredam pertikaian antar saudara yang berkepanjangan, atas prakarsa Empu Bharada mempertemukan Putra Mahkota kerajaan Djenggolo yakni Raden Pangeran Asmorobangun dengan Putri Mahkota Kediri, Dewi Sekartadji sebagai permaisuri. Tetapi upaya ini tidak menghasilkan perubahan; kerajaan Daha (Kediri) masih tetap bersikukuh menuntut untuk memiliki pelabuhan niaga yang berada dipesisir uatara laut wilayah kerajaan Jenggolo. Perang saudara terulang kembali terjadi, kali ini kerajaan Daha (Kediri) mengirimkan bala tentara secara besar-besaran ke wilayah kerajaan Jenggolo (Sidoarjo) yang berakhir kekalahan Jenggolo dan kerajaan Daha (Kediri) dapat menyatukan kembali wilayah kedua kerajaan warisan raja Airlangga.

Menurut catatan sejarah, lebih dari dua abad kemudian di daerah Delta Brantas (dulu kerajaan Djenggolo) muncul cikal bakal kerajaan baru. Waktu itu kota kerajaan Singosari pada tahun 1292 diserang mendadak oleh bala tentara Djajakatwang dari Kediri. Akibat peperangan tersebut, raja Kertanegara (raja Singosari) meninggal dalam pertempuran bersama Patih serta beberapa pendeta kerajaan Singosari.

Pada waktu terjadi penyerangan, R. Widjaja putra menantu raja Kertanegara dapat menyelamatkan diri bersama sejumlah pengikutnya (kerabat kraton) lolos dari pengepungan tentara Kediri. Dengan bantuan kepala desa Kudadu sampailah R.Widjaja melarikan diri ke Madura untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Adipati Sumenep, Banjakwide alias Wiraradja.

Kemudian Adipati Sumenep Wiraradja menyarankan R.Widjaja untuk pergi mengabdi ke Djajakatwang (raja Kediri). Saran untuk mengabdi ini dilakukan atas pertimbangan karena R. Widjaja hanyalah sebagai putra menantu. Oleh karena itu, R. Widjaja dianugerahi sebidang tanah kosong terletak didesa Tarik kawasan Delta Brantas wilayah Sidaorjo. Konon cerita, atas bantuan orang-orang yang didatangkan dari Madura tanah kosong itu dibuka untuk dijadikan sebuah desa dan tanah yang subur diolah sebagai lahan pertanian dan perkebunan. Karena lahan tersebut sebelumnya banyak ditumbuhi pohon Modjo yang rasanya pahit, kemudian desa tersebut dinamakan desa Mojopahit.

Desa inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan baru: Modjopahit. Selanjutnya di daerah Trowulan (Mojokerto) sebagai pusat kerajaan. R. Widjaja mulai memerintah sebagai Raja Modjopahit yang pertama dengan gelar Kertaradjasa Djajawardana memerintah pada tahun 1293 sampai tahun 1309.

Read More......

Kamis, 07 Oktober 2010

WALI PITU DI BALI



Ada beberapa informasi yang menyatakan bahwa Islam sudah masuk di Bali pada abad 15 M. Ini dibuktikan, pada saat Dalem Ketut Ngelesir menjabat sebagai raja Gelgel ke I (1380-1460 M) pernah mengadakan kunjungan ke kraton Majapahit, saat itu Raja Hayam Wuruk mengadakan konfrensi kerajaan seluruh Nusantara.

Setelah acara tersebut selesai, Dalem Ketut Ngelesir pulang kenegerinya (Bali) dengan diantar oleh empat puluh orang dari Majapahit sebagai pengiring, yang konon diantara mereka terdapat Raden Modin dan Kyai Abdul Jalil. Peristiwa ini dijadikan sebagai patokan masuknya Islam di Bali yang berpusat di kerajaan Gelgel. Sejak itu Agama Islam mulai berkembang di Bali, dan terus demikian hingga saat ini, banyak terdapat makam-makam Islam di sana. Demikian juga terdapat makam para Da’i, ulama dan pemuka Islam yang pada masa hidupnya dikaruniai Allah Swt Karomah, sehingga makam-makam mereka juga dihormati, oleh ummat Islam khususnya maupun juga orang-orang Bali yang mayoritas beragama Hindu. Dari sekian banyak makam auliya’ di Bali, ada tujuh makam yang sangat menonjol yang terkenal dengan Sab’atul Auliya’ (wali pitu). Diantara wali pitu tersebut adalah :

I - KERAMAT PANTAI SESEH (Pangeran Mas Sepuh) Pangeran Mas Sepuh merupakan gelar, nama sebenarnya adalah ,Raden Amangkuningrat yang lebih terkenal dengan Keramat Pantai Seseh. Ia merupakan Putra Raja Mengwi I yang beragama Hindu dan Ibunya berasal dari Blambangan (Jatim) yang beragama Islam. Sewaktu kecil beliau sudah berpisah dengan ayahandanya dan diasuh oleh ibundanya di Blambangan. Setelah dewasa Pangeran Mas Sepuh menanyakan kepada ibunya mengenai siapa ayahandanya itu. Setelah Pangeran Mas Sepuh mengetahui jati dirinya, maka ia memohon izin pada ibunya untuk mencari ayah kandungnya, dengan niat akan mengabdikan diri. Semula sang ibu keberatan, namun akhirnya diizinkan juga Pangeran Mas Sepuh untuk berangkat ke Bali dengan diiringi oleh beberapa Punggawa Kerajaan sebagai pengawal dan dibekali sebilah keris pusaka yang berasal dari Kerajaan Mengwi. Namun, setelah bertemu dengan ayahnya, terjadilah kesalahpahaman, karena baru sekali ini mereka berdua bertemu. Akhirnya Pangeran Mas Sepuh beranjak pulang ke Blambangan untuk memberitahu ibunya tentang peristiwa yang telah terjadi. Namun dalam perjalanan pulang, sesampainya di Pantai Seseh, Pangeran Mas Sepuh diserang sekelompok orang bersenjata yang tak dikenal, sehingga pertempuran tak dapat dihindari lagi. Melihat korban berjatuhan yang tidak sedikit dari kedua belah pihak, keris pusaka milik Pangeran Mas Sepuh dicabut dan diacungkan ke atas, seketika itu ujung keris mengeluarkan sinar dan terjadilah keajaiban, kelompok bersenjata yang menyerang tersebut mendadak lumpuh, bersimpuh diam seribu bahasa. Pangeran Mas Sepuh setelah mengetahui hal tersebut berkata : "Hai Ki sanak mengapa kalian menyerang kami dan apa kesalahan kami ? Mereka diam tak menjawab, akhirnya diketahui kalau penyerang itu masih ada hubungan kekeluargaan, hal ini dilihat dari pakaian dan juga dari pandangan bathiniyah Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya keris pusaka dimasukkan kembali dalam karangkanya, dan kelompok penyerang tersebut dapat bergerak dan kemudian memberi hormat kepada Pangeran Mas Sepuh. Tidak lama setelah kejadian tersebut, Pangeran Mas Sepuh meninggal dunia dan di makamkan di tempat itu juga. Dan sampai sekarang makamnya terpelihara dengan baik dan selalu diziarahi umat Islam dari berbagai wilayah di nusantara. Perlu diketahui bahwa proses ditemukannya Makam Keramat Pantai Seseh dimulai sejak pertama jamaah manaqib yang ada di Bali mendapat petunjuk, yaitu pada Bulan Muharam 1413 H atau 1992 M yang kemudian ditemukan juga makam keramat yang lain :

II -.Makam Keramat Pamecutan bernama Dewi Khodijah atau Ratu Ayu Anak Agung Rai berada di Jalan Batu Karu Pamecutan.
III- Makam Pangeran Sosrodiningrat Senopati dari Mataram berada di Ubung dekat terminal bus Denpasar.
Adapun sejarah Makam keramat Pamecutan Dewi Khodijah dapat diuraikan sebagai berikut; Dewi Khodijah adalah nama setelah berikrar masuk Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai, beliau adalah adik perempuan Raja Pamecutan Cokorda III yang bergelar Batara Sakti yang memerintah sekitar Tahun 1653 Masehi. Diceritakan pada waktu Raja Pamecutan berperang, salah seorang prajurit dapat menahan seorang berkelana di Daerah Tuban Kecamatan Kuta Kabupaten Badung Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan pada Raja untuk diusut, akhirnya diketahui bahwa dia adalah Senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan Lombok. Namun perahu yang ditumpanginya diserang badai dahsyat yang membuat Senopati Mataram terdampar di Pantai Selatan Desa Tuban. Beliau bernama Pangeran Mas Raden Ngabei Sosrodiningrat, sedangkan para pengiring atau punggawanya sebanyak 11 orang tiada kabar beritanya. Setelah diketahui bahwa tawanan tersebut adalah seorang Senopati dari Mataram, maka Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan menjanjikan, apabila perang telah usai dan kemenangan diraihnya, maka Pangeran Sosrodiningrat akan diambil menantu oleh raja. Akhirnya Pangeran Sosrodiningrat bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang ada di medan perang tanpa memikirkan janji Raja, bahkan yang dipikirkan apakah mungkin dapat menikah dengan Putri Raja yang beragama Hindu sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang tersebut dimenangkan Pasukan Kerajaan Pamecutan, maka Pangeran Sosrodiningrat menikah dengan Dewi Khodijah. Dewi Khodijah setelah dipersunting oleh Senopati Mataram mulai memeluk Islam dan bersungguh-sungguh menekuni dan melaksanakan Ajarannya. Namun, setelah beberapa tahun musibah datang menimpanya. Pada suatu malam yang gelap, sewaktu Dewi Khodijah mengerjakan Sholat Malam dikamar yang pintunya terbuka, secara tidak sengaja terlihat oleh punggawa raja yang sedang berjaga dan terdengar suara Allahu Akbar. Namun yang di dengar Punggawa adalah Makeber, bahasa Bali berarti ; terbang. Setelah sang Punggawa memperhatikan mengenai semua gerakan sholat yang dilakukan oleh Dewi Khodijah yang dinilai oleh punggawa sebagai pekerjaan Leak (orang jadi-jadian yang berbuat jahat), maka dia langsung menghadap Raja untuk melaporkan keberadaan Leak di Kamar Keputren. Raja akhirnya memerintahkan beberapa Punggawa untuk mendatanginya. Saat melihat Dewi Khodijah sedang Sujud, tanpa memikirkan resiko para punggawa menyerbu dengan senjata terhunus dan dihujamkan ke punggung Dewi Khodijah. Darah segar tersembur keatas dari punggung Dewi Khodijah yang terkena ujung tombak. Bersamaan dengan itu, terjadi keanehan yang luar biasa, darah segar Dewi Khodijiah yang keluar dari punggungnya mengeluarkan cahaya terang kebiru-biruan dan dapat menembus dinding atap atas hingga keluar memenuhi udara memancarkan sinar yang menerangi Istana Pamecutan. Bahkan seluruh kota Denpasar menjadi terang-benderang seperti siang hari, semua penduduk terutama keluarga istana, sangat terkejut, termasuk Raja Pamecutan. Setelah diteliti sumber cahaya dan bersamaan dengan itu para Punggawa melaporkan bahwa yang dibunuh bukan Leak tapi orang biasa dan mengeluarkan darah. Saat itu terdengar jeritan dengan ucapan ; makebar makebar, makebar hingga tiga kali, asli ucapan adalah ALLAHU AKBAR hingga tiga kali. Jenazah Dewi Khodijah yang tertelungkup dengan tombak terhujam dipunggungnya sulit diangkat dan dibujurkan, tubuhnya bermandikan darah yang sudah membeku. Keluarga Kerajaan yang ingin menolong mengangkatnya tidak dapat berbuat apa-apa. Jenazahnya tetap sujud tidak berubah, baginda mencari bantuan kepada umat Islam yang ada disana agar mau merawat jenazah putrinya menurut cara Islam. Kemudian umat Islam tersebut segera membantu merawat jenazah, mulai dari memandikan, mengkafani, mensholati sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Namun satu hal yang tak dapat diatasi yaitu batang tombak yang menghujam dipunggungnya tidak dapat dicabut, akhirnya atas keputusan semua pihak jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada dipunggungnya. Dan anehnya batang tombak yang terbuat dari kayu itu bersemi dan hidup sampai sekarang. Hal tersebut dapat dibuktikan apabila berkunjung dimakam Dewi Khodijah.

IV - Keramat di Bukit Bedugul (Habib Umar bin Yusuf al Maghribi)
Makam ini letaknya di kabupaten Tabanan Bali. Makam ini hanya berwujud empat batu nisan untuk dua makam yaitu makamnya Habib Umar dan pengikutnya yang luasnya 4x4 M.

V - Keramat Kusumba, Kelungkung (Habib Ali bin Abu Bakar Al Hamid)
Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba Kec. Dawah Kab Kelungkung Bali. Makam ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik Umat Islam maupun Hindu. Habib Ali Bin Abu Bakar Al Hamid, sewaktu hidupnya bekerja sebagai guru besar Raja Kelungkung pada masa Pemerintahan Dhalem I Dewa Agung Jambe. Waktu itu beliau diberi seekor kuda untuk kendaraan pulang pergi antara Kusamba dan Kelungkung. Pada suatu hari sewaktu Habib Ali pulang dari Kelungkung sesampainya di pantai Desa Kusamba, beliau diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenal dengan senjata tajam secara bertubi-tubi. Habib Ali yang masih berada di atas kudanya tewas tersungkur di tanah bermandikan darah. Akhirnya jenazah Habib Ali dimakamkan ditempat itu juga. Pada malam hari setelah pembunuhan tersebut, terjadi peristiwa yang sangat menggemparkan. Di atas makam Habib Ali Al Hamid, mengeluarkan api yang berkobar-kobar membumbung ke angkasa, semburan api tersebut bergulung-gulung bagaikan bola api terbang untuk mengejar sang pembunuh. Dimana mereka bersembunyi kobaran api terus mengejarnya, sampai dapat membakar mereka satu persatu, tak satu orangpun dari pembunuhnya yang tersisa. Adapun silsilah dari Habib Ali adalah : Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar bin Salim bin Hamid bin Aqil bin Muthohar bin Umar bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman As saqof bin Ali bin Alwi bin Kholaq Qosam bin Muhammad Shohibil Mirbath bin Ali bin Muhammad Faqih Al Muqodam bin Abdullah bin Ahmad bin Isa al Bashori bin Muhammad al Muhajir bin Muhammad Naqib bin Ali Al Aridlhi bin Ja’far Shodiq bin M. Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain bin Ali Kwj suami Fatimah Az-Zahro’ binti Rasulullah Saw.

VI - VII - Keramat Kembar Karang Asem (Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi dan Ali bin Zaenal Abidin Al Idrus)
Makam Keramat Kembar Karang Asem terletak di desa Bungaya, Kec. Bebandem kab. Karangasem Bali. Adapun tentang Karomahnya Syeh Maulana Yusuf , yaitu pada tahun 1963 M, sewaktu Gunung Agung meletus mengeluarkan lahar panas menyemburkan batu besar dan kecil serta abu yang menyembur ke atas menjulang tinggi diangkasa menyebar diseluruh Pulau Bali, bahkan sampai di Jawa Timur. Cuaca menjadi gelap gulita, siang hari berubah menjadi malam pekat, lampu sorot mobil yang terang biasa digunakan memandang jarak jauh tidak dapat menembus turunnya hujan abu. Padahal Gunung Agung letaknya di Daerah Karangasem ujung paling timur Pulau Bali. Ini menunjukkan betapa hebat dan dahsyatnya letusan dan semburan yang dimuntahkan oleh Gunung Agung. Sebagian desa porak poranda, banyak rumah roboh, pohon-pohon besar banyak yang tumbang, hujan pasir dan batu kerikil telah menggenangi pulau Bali. Namun, ada yang unik, Makam Syeh Maluana Yusuf Al Baghdi yang di atasnya tertumpuk susunan batu merah yang ditata begitu saja tidak diperkuat dengan semen pasir dan kapur tidak berubah sedikitpun, bahkan tidak sebutir pasirpun yang mampu menyentuhnya.

Keramat Karang Rupit (syeikh Abdul Qodir Muhammad)
Makam Keramat Karang Rupit letaknya di desa Temukus (Labuan Aji) kec.Banjar Kab. Bulelang, Singa Raja Bali. Nama yang dimakamkan adalah syeikh Abdul Qodir Muhammad. Ini sebenarnya hanya gelar, adapun nama aslinya adalah The Kwan Lie, singkatan dari The Kwan Pao Lie, kemudian masyhur dengan gelar syeikh Abdul Qodir Muhammad karena kesalehan dan kebaikan perilaku beliau ra. Demikianlah sejarah Sab’atul Auliya’ di Bali yang diharapkan membawa manfa’at buat kita semua. Keterangan ini disarikan dari buku sejarah wujudnya Makam Saba’tul Auliya’ karangan Toyib Zein Arifin.
Sumber

Read More......

Rabu, 06 Oktober 2010



KH Ahmad Abdul Haq atau yang akrab dipanggil Mbah Mad Watucongol Muntilan Magelang, meninggal dunia, Kamis (8/7) pagi.
KH Ahmad Abdul Haq atau yang akrab dipanggil Mbah Mad Watucongol Muntilan Magelang, meninggal dunia, Kamis (8/7) pagi.

KH Aly Qaishar, salah satu putra Mbah Mad yang akrab dipanggil dengan panggilan Gus Aly, kepada KRJogja.com, mengatakan Mbah Mad meninggal dunia sekitar pukul 05.00 setelah sebelumnya sempat dirawat di RS Harapan Kota Magelang.

Dikatakan, Selasa (6/7) sore sekitar pukul 16.00 Mbah Mad dibawa ke RS Harapan Kota Magelang dan dirawat di Bangsal Eidelweis RS yang tidak jauh dari obyek wisata Taman Kiai Langgeng Kota Magelang lantaran merasakan kurang enak badannya.

Pada Rabu siang kesehatannya terlihat membaik, tekanan darahnya juga membaik. Demikian juga kandungan gulanya. Tidak sedikit masyarakat yang datang ke RS Harapan untuk menjenguk dan mendoakan agar Mbah Mad diberi kesembuhan.

Namun Kamis pagi muncul kabar kalau Mbah Mad, yang usianya sekitar 82 tahun tersebut, meninggal dunia. Gus Aly mengatakan Mbah Mad dimakamkan Kamis sekitar pukul 15.00 di areal pemakaman yang tidak jauh dari komplek Pondok Pesantren "Darussalam" Watucongol Muntilan Magelang.

sumer: krjogja.com

Read More......

Selasa, 05 Oktober 2010

Waliyullah Mbah Kyai Dalhar Watucongol



Ketika penulis melihat – lihat di internet, penulis banyak menemui tulisan – tulisan yang mengenang tentang sosok figure salah seorang kakek buyut penulis yaitu Mbah Kyai Dalhar, Watucongol.
Ketika penulis melihat – lihat di internet, penulis banyak menemui tulisan – tulisan yang mengenang tentang sosok figure salah seorang kakek buyut penulis yaitu Mbah Kyai Dalhar, Watucongol. Begitu masyarakat luas akrab memanggilnya. Penulis berterima kasih pada para pecinta beliau yang telah berkenan merekam sebagian dari jejak – jejak manaqibnya, sekalipun tulisan – tulisan tersebut nampaknya masih belum mengemukakan syakhsiyahnya secara utuh.

Berikut ini adalah ringkasan manaqib beliau yang penulis peroleh dari keterangan keluarga. Terutama kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq dan beberapa petikan catatan yang penulis peroleh dari catatan – catatan Mbah Kyai Dalhar.

Kelahiran & Nasabnya
1_873996191mMbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.

Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.

Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.

Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.

Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.

Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.

Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.

Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :

* Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
* Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
* Dll

Karya–karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Murid–muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.

Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.

Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Read More......